Oleh : Vicky Kurniawan
Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi ketika kami chek out dan keluar dari hotel. Tujuan kami selanjutnya adalah ibukota Swiss yaitu Jenewa. Sebenarnya saya kurang suka dengan kota besar dan tidak pernah berniat memasukkannya dalam rencana perjalanan. Tapi setelah mengotak atik rute, untuk menuju kota berikutnya yaitu Paris memang lebih efisien bila saya mampir di Jenewa. Maka jadilah Jenewa menjadi tujuan berikutnya setelah Interlaken. Sebagai kota dengan jumlah organisasi internasional terbanyak di dunia, Jenewa menjadi pusat diplomasi dunia. Walaupun PBB sekarang bermarkas besar di New York, Jenewa boleh dibilang berperan sebagai markas besar PBB di Eropa karena masih banyak kegiatan-kegiatannya yang dilaksanakan di Palais des Nations, Jenewa. Selain itu masih banyak anak-anak organisasi PBB seperti WHO dan ILO dan kurang lebih 20 organisasi internasional diantaranya Palang Merah dunia yang bermarkas di sana.
Disamping menjadi pusat diplomasi, Jenewa juga menjadi pusat keuangan dunia karena banyak perusahaan-perusahaan keuangan yang berperan penting dalam perekonomian dunia bermarkas di sana. Hal itu termasuk bank-bank, jasa pengelolaan keuangan, dan beberapa organisasi keuangan dunia seperti IFC (International Finance Corporation).
Transportasi Interlaken – Jenewa
Perjalanan menggunakan kereta Interlaken – Jenewa memakan waktu rata-rata 3 jam dengan minimal satu kali ganti kereta di Bern. Stasiun utama di tengah kota bernama Genève-Cornavin atau disebut juga Gare de Cornavin (GFF). Walaupun berperan sebagai stasiun utama, banyak kereta api jarak jauh yang mengakhiri jalurnya bukan disini tetapi di Geneva Airport Railway Station (Geneve Aeroport/GVA) yang berjarak 6 menit berkereta. Jadi hati-hati kalau mau turun disini jangan sampai kelewatan. Transportasi dari Hostel Happy Inn (Interlaken) menuju Jenewa dapat dilihat ada gambar dibawah ini :
Walaupun pada dasarnya rute kereta akan sama, nomor-nomor kereta diatas dapat berubah sesuai jam dan tanggal keberangkatan. Jadi jangan lupa mengeceknya kembali di Eurail Timetable dengan tujuan awal stasiun Interlaken West dan tujuan akhir Geneve (Switzerland), Geneve Cornavin atau Geneva Main Station. Pilih kereta api yang tidak memerlukan reservasi atau reservation optional.
Akomodasi di Jenewa
Masuk dalam urutan ke 6 kota termahal di dunia tahun 2014 bersamaan dengan Melbourne dan Tokyo, sebenarnya cukup keder juga saat mau menginap disini. Tapi diluar dugaan ternyata masih mampu juga menemukan hostel sekamar bertiga dengan harga sesuai budget. Hostel ideal di Jenewa menurut saya adalah yang dekat dengan stasiun Gare Cornavin karena kereta yang akan berangkat ke Paris juga berangkat dari sini. Tapi mencari-cari hostel di seputar stasiun Gare Cornavin yang sesuai dengan anggaran ternyata susah juga. Jadilah kami menginap di City Hostel Geneva yang berjarak kurang lebih 550 meter dari stasiun. Hostel ini saya booking melalui situs hostelbookers.com dengan harga 38.44 USD (Rp. 459.200) per orang per malam untuk kamar 3 bed-dorm mixed (shared bathroom). Peta jalan kaki dari stasiun menuju hostel dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Jauh dari stasiun ternyata merupakan satu-satunya kelemahan hostel ini karena banyak keuntungan yang kita dapat daripada kelemahannya. Salah satu keuntungan dari hostel ini adalah dekat dengan supermarket dan halte tram, tersedia luggage storage, tersedia lift, tersedia dapur lengkap dengan kompor dan peralatan memasak, colokan banyak tersedia, kamar dan kamar mandinya bersih dan satu lagi mereka juga menyediakan handuk mandi. Pokoknya hostel ini menjadi salah satu hostel terbaik yang saya inapi selama menjelajah Eropa.
Pada saat kami tiba di hostel sekitar jam 10 sayangnya resepsionis tidak berada ditempat, jadi kami masih harus menunggu kurang lebih 15 menit sampai petugasnya datang. Seperti kebanyakan hostel di Eropa jam buka resepsionis disini dimulai dari jam 07.30 pagi sampai jam 12 siang, istirahat satu jam kemudian dilanjutkan jam 1 siang. Sambil menunggu petugas resepsionis datang saya melihat lihat keadaan sekeliling. Di area ruang tunggu depan resepsionis terdapat tempat sampah yang lubangnya unik. Kalau umumnya berlubang satu atau maksimal 2, yang ini lubangnya sampai lima. Masing-masing lubang itu untuk kaleng, kertas, botol plastik, sampah organik dan satunya lagi untuk sampah yang mudah meledak seperti kaleng aerosol dan baterai. Jadi kalau mau buang sampah mesti mikir lebih dari sedetik untuk menentukan lubang yang tepat 🙂 .
Saat resepsionis datang sayangnya kita tidak bisa masuk kamar dulu karena kamarnya belum siap. Tapi enaknya mereka memperbolehkan kita menitipkan tas di luggage storagenya. Jadi sambil menitipkan tas, kita berkeliling untuk melihat lihat fasilitas-fasilitas hostelnya. Selain ruang luggage storage tersedia juga dapur, ruang santai dan ruang laundry dengan mesin cuci koin. Semuanya terlihat bersih tanpa noda.
Saat sore hari kami masuk, ruangan kamarnya memang sempit jadi agak susah juga kalau menginap dengan orang lain yang bukan keluarga atau teman. Selain itu kita harus memasang sendiri sprei dan sarung bantal. Enaknya kita dapat fasilitas handuk bersih dan walaupun kamar mandinya berbagi dengan tamu-tamu yang lain, ruangannya tetap nyaman dan bersih dengan shower panas dingin yang keras.
Seperti umumnya hostel-hostel di Swiss, hostel ini juga menjual berbagai macam suvenir khas Swiss seperti kartupos, tumbler, topi, coklat Swiss dan yang paling terkenal adalah Swiss Army Knife (pisau Swiss) bermerk Victorinox dan Wenger.
Transportasi Di Jenewa
Seperti juga di Interlaken, di Jenewa ini ada yang namanya “Geneva Transport Card”. Kartu ini sifatnya gratis diperuntukkan bagi turis yang menginap di hotel, youth hostel atau campsite di wilayah Jenewa. Dengan kartu ini kita berhak naik transportasi publik (Geneva Uniresco) secara gratis yang berlaku selama masa tinggal. Kartu ini diberikan saat kita check inn di hotel dan berlaku di hampir semua jaringan transportasi di Jenewa seperti bis (TPG), kereta (CFF) dan boat (Mouettes Genevoises). Lumayan banget untuk menghemat biaya transportasi selama di Jenewa.
Salah satu yang menarik perhatian dari kartu ini adalah kesempatan naik The Mouettes secara gratis. The Mouettes Genevoises (Geneva Gulls) adalah bis air berwarna kuning yang biasanya wira wiri di danau Jenewa untuk membawa turis atau penduduk setempat mencapai kota-kota di pinggir danau. Jadwal pelayaran The Mouttes dapat dicek disini .

The Mouettes (Foto By : decision.ch)
Terus terang saya banyak tertolong dengan adanya kartu ini. Kalau tidak dapat kartu ini mungkin saya lebih memilih Walking Tour karena mahalnya biaya transport disini. Untuk Geneva One day Pass saja harganya 26 CHF yang bila dirupiahkan setara dengan Rp. 351.000. Kalau tidak beli daypass harga tiket transportasi umum di Geneva berkisar antara 2-10 CHF yang berlaku dalam satu Zona.
The Palais Des Nations
Usai menitipkan koper dan backpack, kami segera menuju tempat kunjungan pertama yaitu gedung PBB yang nama resminya disebut The Palais Des Nations dalam bahasa Perancis atau Palace of Nations dalam bahasa Inggris. Dari hostel tempat ini dapat dicapai dengan menggunakan tram disambung jalan kaki atau naik bis. Detail rute transportasinya dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar Peta 1
Gambar Peta 2
Gambar Peta 3
Saat berhenti di pemberhentian tram Nations jangan langsung pergi dulu karena disini ada beberapa spot menarik untuk berfoto. Yang pertama dan paling menarik perhatian adalah berfoto didepan monumen Broken Chair. Monumen ini sangat menonjol karena berbentuk sebuah kursi kayu setinggi 12 meter yang salah satu kakinya patah. Diperlukan kayu sebanyak 5.5 ton untuk membuat monumen ini dan didedikasikan sebagai pengingat betapa berbahayanya pemasangan ranjau darat dalam perang. Dulunya monumen ini hanya bersifat sementara dan dibangun saat penandatanganan perjanjian Ottawa (Ottawa Treaty). Perjanjian yang ditandatangani oleh 133 negara ini melarang penggunaan, penimbunan, produksi dan distribusi ranjau darat. Tapi ironisnya justru negara-negara besar seperti Amerika, Russia, India, Cina dan UAE tidak turut serta dalam perjanjian ini.
Spot kedua untuk berfoto adalah pintu gerbang dan bagian depan Palace of Nations. Disamping tulisan besar United Nations, persis disebelahnya terdapat Allée des Nations (Aisle of Flags), gedung dengan jajaran bendera-bendera negara anggota PBB di kanan kiri jalannya. Pengunjung tidak bisa masuk melalui gerbang ini karena khusus diperuntukkan bagi pegawai PBB.
Karena lama menunggu bis, akhirnya kami memutuskan jalan kaki dari pemberhentian tram Nations menuju gedung PBB. Dari monumen Broken Chair ikuti saja penunjuk jalan bertuliskan Pregny dan menyusuri sepanjang jalan Avenue De La Paix. Kebetulan saat itu cuaca cerah dan walaupun matahari bersinar sangat terik suhunya cukup nyaman untuk dipakai jalan. Rencananya kami akan ikut guided tour masuk ke dalam kantor PBB. Seperti diketahui sangatlah mustahil bagi orang awam untuk masuk kedalam gedung ini tanpa ikut tur resmi yang diselenggarakan oleh UN. Biaya turnya CHF 12 untuk orang dewasa. Jadwal turnya ada dua, pagi jam 10 sampai jam 12 siang dan sore jam 2 sampai jam 4. Bulan – bulan kunjungan adalah September sampai Maret dan April sampai Agustus. Jadwal lengkapnya bisa dicek disini .
Sesampai di Pregny Gate gedung PBB, kami masuk untuk mendaftar tur pagi. Dari kami bertiga diminta satu orang untuk berfoto dan diharuskan menunjukkan paspor sebagai bukti identitas. Untuk tas dan ransel kecil diperbolehkan untuk dibawa selama tur. Begitu juga dengan kamera. Kita diperbolehkan memotret sebanyak kita suka tapi tidak boleh menvideokan kegiatan selama tur. Satu lagi yang paling penting, selama tur tidak tersedia toilet dan memang tidak ada waktu untuk pergi ke toilet. Jadi puas – puasin buang air kecil dulu sebelum ikutan tur.
Setelah mendapat Identity Badges, kami dipersilahkan menuju Gedung E dan masuk melalui Gate 39 tempat peserta guided tour berkumpul (lihat garis merah pada gambar peta dibawah). Sambil menunggu peserta lain berkumpul kami masuk ke toko souvenirnya untuk melihat lihat barang-barang apa yang dijual disana. Ternyata souvenir yang ditawarkan cukup lengkap juga mulai kaos, syal, jaket, gantungan kunci, tempelan kulkas. Sebenarnya saya naksir banget kaosnya. Siapa sih yang tidak bangga pakai kaos United Nations. Sayang harganya yang mahal membuat saya jiper duluan.
Guide kita bernama Francois dan dilihat dari namanya pasti tahu kalau dia berasal dari Perancis. Walaupun orang Perancis tapi bahasa Inggrisnya cukup bagus dan dia banyak menyelipkan humor humor lucu sehingga turnya tidak membosankan. Palace of Nations dibangun tahun 1929 ketika Marquis Masson de Pezay berhasil merayu Swiss untuk membangun kantor pusat PBB yang waktu itu namanya Society of Nations di salah satu kotanya. Setelah menugaskan 5 orang arsitek, 2 dari perancis dan 3 lainnya dari Swiss, Itali dan Hungaria akhirnya berdirilah kantor pusat PBB di Jenewa, Swiss walaupun Swiss sendiri baru masuk menjadi anggota PBB tahun 2002. Dengan berbagai pembangunan tambahan, gedung ini menjadi komplek gedung terbesar kedua di Eropa setelah Istana Versailles.
Kompleks bangunan Palais des Nations ini berada di dalam Ariana Park, salah satu taman terbesar dan paling prestius di Jenewa. Terletak di sisi kanan danau Jenewa, taman seluas 45 hektar ini memberikan pemandangan menakjubkan ke jajaran pegunungan Alpen. Konon saat cuaca cerah kita dapat melihat puncak Mont Blanc, yang merupakan gunung tertinggi di Eropa. Taman yang memiliki koleksi pohon-pohon Cedar berusia 100 tahun ini disumbangkan oleh Gustave Revilliod salah satu orang terkaya di Swiss. Sedangkan Ariana sendiri diambil dari nama ibu Gustave, Ariane.
Setelah menerangkan sepintas sejarah Palace of Nations mulailah Francois membawa kami berkeliling. Rute turnya tidak sistematis karena tiap grup diusahakan tidak bertemu lama dalam satu ruangan. Tapi pada intinya kita akan ditunjukkan 5 ruangan dalam gedung PBB. Ruangan pertama yang kita masuki adalah salah satu Conference Room dari 34 ruangan serupa di gedung ini. Conference Room bernama Salle Room XVII ini berkapasitas 600 sampai 700 orang yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas rapat kelas dunia. Mereka bahkan memiliki Divisi Bahasa yang menyediakan terjemahan baik audio maupun visual ke dalam 6 bahasa utama di dunia yaitu bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol. Pertama kali memasuki ruangan ini rasanya terharu juga. Tidak terbayangkan sebelumnya kalau saya, seorang ibu dari kota kecil di Jawa Timur Indonesia, bisa sampai juga disini. Di salah satu ruangan dalam gedung PBB dimana hampir semua ketentuan penting negara-negara di dunia diputuskan.
Masih di dalam gedung yang sama, kami diajak naik ke lantai 3 untuk berkunjung ke ruangan ke dua yaitu The Human Rights and Alliance of Civilizations Room, yang digunakan oleh United Nations Human Rights Council. Ruangan rapat ini merupakan salah satu ruangan terbesar di United Nations Office at Geneva (UNOG) selain Assembly Hall. Daya tarik utama dari ruangan ini adalah langit-langitnya yang dilukis dengan cat warna warni menyerupai sebuah Stalaktit. Karya seni kontemporer ini merupakan hasil karya Miquel Barceló, salah seorang perupa dari Spanyol dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah Spanyol melalui ONUART Foundation, sebuah perusahaan nirlaba dari Spanyol. Pemerintah Spanyol menghabiskan dana hampir 20 milyar Euro untuk mendanai proyek ini yang menjadikannya sebagai donasi terbesar yang diterima PBB. Stalaktit warna warni ini menggambarkan keanekaragaman budaya di dunia dan sesuai dengan tema dari Human Rights Council diharapkan walaupun berbeda-beda, kesetaraan dalam hak-hak asasi manusia tetaplah harus sama.

The Human Rights and Alliance of Civilizations Room (Photo By : Onuart)
Ruangan ketiga yang kita kunjungi adalah Assembly Hall yang terletak di lantai 3 gedung A. Assembly Hall merupakan salah satu ruangan tertua, terbesar dan memiliki daya tampung terbanyak di UNOG. Ruangan ini dapat menampung hampir 2000 peserta. Maklum saja karena ruangan ini digunakan oleh United Nations General Assembly, satu dari 6 organisasi utama PBB dimana tiap negara harus mengirimkan wakilnya disini. Kurang lebih 193 negara anggota PBB tergabung dalam General Assembly yang akan didudukkan berdasarkan urutan alfabet. Untuk menghindari kebosanan, tiap tahun diadakan undian negara mana yang akan duduk di bagian kiri depan yang selanjutnya akan diikuti negara-negara selanjutnya sesuai urutan. Assembly Hall ini digunakan ketika United Nations General Assembly mengadakan pertemuan di bulan September sampai Desember untuk membahas anggaran PBB, memilih anggota tidak permanen Dewan Keamanan dan membentuk beberapa anak organisasi PBB. Dengan pentingnya fungsi ruangan ini, Assembly Hall menjadi ruangan yang paling canggih dan paling banyak direnovasi sejak dibangun tahun 1933.
Dari Assembly Hall, kami digiring lagi menuju ruangan penting selanjutnya yaitu Council Chamber. Untuk menuju ruangan itu kami diajak melintasi tempat keempat yaitu koridor The Salle des Pas Perdus atau Hall of Lost Steps. Selain sebagai koridor utama Gedung A, tempat ini juga menjadi ajang berbagai pameran budaya yang sering diselenggarakan oleh UNOG. Dari koridor ini pula kita dapat mengintip pemandangan ke arah Court of Honour yang berada persis di depan Gedung A.
Ruangan kelima dan terakhir dalam tur ini adalah Council of Chamber yang berada di gedung C. The Council Chamber, atau yang terkenal dengan nama Francisco de Vitoria Room sangat terkenal dengan lukisan muralnya. Lukisan ini merupakan hadiah dari pemerintah Spanyol untuk PBB yang waktu itu masih bernama League of Nations. Begitu memasuki ruangan ini mata kita akan dimanjakan oleh lukisan mural raksasa berwarna coklat dan emas yang mendominasi dinding dan langit-langitnya. Di sepanjang sisi dinding terlukis kemajuan manusia melalui kesehatan, teknologi, kebebasan dan perdamaian. Di langit langitnya terlukis jelas lima manusia raksasa saling berpegangan tangan. Kelima manusia ini menggambarkan 5 benua di dunia.

Council of Chamber (Photo by : Unog.ch)
Sebelum mengakhiri tour dalam perjalanan menuju titik kumpul akhir, Francois banyak bercerita bahwa gedung PBB ini bisa disebut juga sebagai museum karena hampir semua negara menyumbangkan berbagai macam dekorasi khas negaranya. Bukan itu saja, beberapa negara bahkan menbantu mendanai dekorasi dan perbaikan beberapa Conference Room. Sebagai contoh conference room Salle XV yang didanai sepenuhnya oleh negara Azerbaijan. Untuk mempromosikan keindahan negaranya, Azerbaijan menghiasi dinding ruangan itu dengan tiga karpet hasil tenunan tradisional Azerbaijan dan tiga lukisan hasil karya pelukis terkenal Azerbaijan. Tentu saja hal ini akan menambah gengsi dan pamor negara yang bersangkutan.
Setelah tur usai kami bebas berfoto-foto di halaman depan sebelum menuju pintu exit. Turnya sendiri berjalan kurang lebih 1 jam. Dalam perjalanan menuju gerbang keluar, saya berjalan bersamaan dengan sepasang suami istri yang sudah tua. Karena jaraknya berdekatan otomatis saya mendengar sedikit percakapan mereka. “Darling, do you know where is my glasses ?”, kata sang istri. Suaminya sempat bingung dan menunduk memeriksa tas yang disandangnya. Saya yang berdiri tepat di belakang mereka jadi ikutan berhenti karena jalan saya terhalang. Tanpa sengaja saya melihat kepala sang istri dan berkata, “Excuse me, I think it’s in your head” sambil menunjuk kacamatanya yang bertengger di kepala. Kontan kami bertiga tertawa dan si nenek berkata, “Thank you dear. It always happens all the time”. “Never mind. Sometimes It also happens to me”, kata saya teringat betapa pelupanya saya dengan kacamata sendiri. Terkadang sudah dipakai pun masih sering dicari 🙂 .
Jardin Anglais
Dari Palace of Nations, tujuan kami selanjutnya adalah taman paling terkenal di Jenewa yaitu Jardin Anglais atau English Park. Dinamakan English Park karena taman ini menjadi taman bergaya Inggris pertama di Jenewa. Rute transportasi dari Palace of Nations menuju Jardin Anglais bisa dilihat pada keterangan dibawah :
Saat Jardin Anglais ini dibangun pada awal abad ke 18, model taman bergaya Inggris memang sedang ngetrend menggantikan taman-taman bergaya Perancis yang kaku dan simetris. English Park bergaya lebih natural, dilengkapi dengan danau atau kolam, jembatan dan pernik-pernik taman seperti reruntuhan kuil, air mancur, pavilion serta rumput yang tertata rapi dibawah pohon rindang. Modelnya dibikin sealami dan semirip mungkin dengan lukisan-lukisan pemandangan.
Pertama kali memasuki Jardin Anglais ini, mata kita akan dimanjakan oleh warna warni bunga yang ditanam membentuk sebuah jam raksasa. Tanaman berbentuk jam raksasa ini dinamakan Geneva Flower Clock, atau L’horloge fleurie dalam bahasa Perancis. Dibuat pertama kali pada tahun 1955, Flower Clock ini menandai betapa Jenewa merupakan salah satu kota paling terkemuka di Swiss atau bahkan dunia dalam pembuatan jam. Dengan diameter sepanjang 5 meter Flower Clock ini merupakan yang terbesar di jamannya sebelum dipasang jam serupa dengan diameter sepanjang 15 meter di Teheran, Iran pada tahun 2005. Untuk membentuk dekorasinya diperlukan kurang lebih 6500 bunga yang setiap tahun desainnya selalu. Sayang saat saya kesana Geneva Flower Clock baru ditanam seperempatnya, kalau sudah jadi mungkin terlihat indah seperti beberapa foto dibawah ini.

Tampilan Flower Clock Tahun 2009 (Atas, Photo By : molon.de) dan tampilan tahun 2013 9bawah, Photo By : panoramio.com)
Selain Geneva Flower Clock, salah satu spot menarik untuk berfoto adalah kolam air mancur Fontaine des Quatre-Saisons (Four Seasons Fountain). Ditempatkan di tengah taman pada abad ke 18, kolam air mancur ini disebut Four Seasons Fountain karena disekeliling pancurannya terdapat 4 patung yaitu Poseidon ditemani istrinya Amphitrite dan 2 penguasa air lainnya yaitu Galatea dan istrinya Acis.
Tapi yang paling menjadi higlight dari taman ini apalagi kalau bukan danau Jenewa dan air mancurnya yang paling terkenal Jet d’Eau Fountain Geneva. Jet d’Eau, sendiri berarti ‘water jet’, dan water jet di danau Jenewa ini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Dibangun pada abad ke 18 aslinya water jet ini dibangun untuk mengontrol dan melepaskan tekanan air dari pipa hidrolik yang ditanam di sepanjang daerah La Coulouvrenière. Akhirnya water jet ini menjadi salah satu simbol kota dan dipindahkan ke danau Jenewa. Water jet ini mampu memompa 500 liter air sampai ke ketinggian sekitar 140 meter.
Air mancur ini beroperasi tergantung pada keadaan cuaca dan jadwal perbaikan tahunannya. Bila angin sedang kuat water jet ini berhenti beroperasi karena airnya memiliki potensi menyiprat kemana-mana. Jadi kalau ingin melihat aksinya perhatikan jam beroperasi berikut ini :
Horaires (Operationing times): | Monday-Thursday | Friday, Saturday, Sunday |
---|---|---|
From 16th September to 3rd November: | from 9:00 am to sunset | from 10:00 am to 10:30 pm (with illuminations) |
From 4th November to 2nd March: |
from 10:00 am to 4.00 pm
|
Selain menikmati keindahan Jardin Anglais sebenarnya tujuan utama kita kesini adalah untuk naik CGN boat services melintasi danau Jenewa. Naik boat CGN gratis ini merupakan salah satu benefit yang kita dapat saat membeli Eurail Pass. Saat itu saya sudah merencanakan untuk ikut Medieval Town of Yvoire Cruise yang durasi pelayarannya paling pendek yaitu 3.5 jam pulang pergi mengunjungi kota Yvoire yang berada di selatan Perancis. Sebagai danau terbesar di Eropa Barat, Lake Geneva memang dikuasai oleh dua negara yaitu Swiss dan Perancis.
Sayangnya saat saya konfirmasi kembali, petugas ticketing menyatakan bahwa Eurail Pass tidak free tapi diskon 50% untuk naik CGN Boat. Akhirnya kami putuskan untuk batal ikutan cruise. Toh kami sudah kenyang mengikuti Boat Cruise melintasi danau di Interlaken :). Setelah batal ikut cruise kami hanya duduk-duduk saja di seputaran taman Jardin Anglais sambil berunding enaknya kemana. Akhirnya saya putuskan untuk mengunjungi salah satu landmarks kota Jenewa yang kebetulan lokasinya dekat dengan Jardin Anglais yaitu Plaine de Planpalais.
Plaine de Planpalais
Sebenarnya bila tidak ada event hampir tidak ada apa-apa yang bisa dilihat di Plaine de Plainpalais ini. Tempat ini semacam lapangan besar berbentuk belah ketupat yang biasanya dijadikan lokasi diadakannya pasar dadakan atau pasar petani di Jenewa. Plainpalais Farmers Market diadakan tiap hari Minggu (dari pagi hari sampai kira-kira jam 5 sore) dan hari Selasa serta Jumat (sampai kira-kira jam 2 siang). Di pasar ini kita bisa membeli berbagai hasil produk pertanian seperti sayur dan buah buahan dengan harga yang lebih rendah dari supermarket tapi dengan kualitas yang lebih baik dan segar. Kebanyakan yang berjualan disini adalah para petani dari Perancis.
Selain Farmer Market, tiap hari Rabu dan Sabtu diadakan juga Plainpalais Flea Market (berlangsung dari jam 8 pagi sampai 5 sore). Disini kita bisa menemukan berbagai macam barang bekas dari buku, baju, handphone dan berbagai alat dan perlengkapan rumah tangga. Selain pasar, beberapa kali dalam setahun juga diadakan beberapa pertunjukkan budaya atau hiburan seperti sirkus atau pasar malam lengkap dengan Roller Coasternya.
Selain sebagai tempat berjualan, alun-alun ini juga ngetop sebagai ajang hang out di kalangan anak muda. Mereka biasanya datang di waktu malam untuk berskating ria di Plainpalais Skate Park yang berada di sebelah utara taman. Sayangnya saya kesini saat hari Kamis jadi benar-benar tidak ada yang bisa dilihat selain lapangan kosong :). Dari Jardin Anglais tempat ini dapat dicapai dengan jalur transportasi berikut :
Parc De Bastions
Dari Plainpalais kami berjalan kaki kurang lebih sekitar 500 meter menuju destinasi berikutnya yaitu Parc De Bastions. Dilihat dari namanya bisa ditebak bahwa ini adalah sebuah taman. Ada dua hal yang menjadi ciri khas taman ini yaitu Reformation Wall dan sebuah papan catur raksasa seperti yang kita lihat di Salzburg. Hanya saja papan catur ini ditemani oleh papan raksasa lain untuk bermain Checkers. Peta jalan kaki dari Jardin Anglais menuju Parc De Bastions dapat dilihat pada peta dibawah ini.
Reformation Wall yang menjadi landmark taman ini terdiri dari 10 buah patung berdiri berjajar dengan 4 patung besar sebagai pusatnya. Kesepuluh patung itu merupakan tokoh tokoh agama Kristen Protestan paling terkemuka dari seluruh penjuru Eropa. Berbeda dengan anggapan bahwa reformasi biasanya berkaitan erat dengan perubahan dalam pemerintahan, reformasi yang ini adalah reformasi agama. Maklum saja dalam era Reformasi, Jenewa menjadi pusat dari aliran Calvinisme yang merupakan hasil perubahan dari agama Katolik Roma.
Sebenarnya saya ingin mengamati dinding ini lebih dekat, sayangnya di sekitar Reformation Wall berkumpul segerombolan anak muda yang saat itu sedang mengobrol sambil menyetel musik keras-keras. Secara naluri saya merasa harus menghindari kumpulan ini karena tampaknya ada beberapa orang yang mulai sedikit mabuk dan bertingkah aneh. Berjalan menjauh dari Reformation Wall, kami terus berjalan menelusuri taman yang tampak lenggang sore ini.
Sambil berjalan sesekali saya mengamati wajah ibu yang tampak kelelahan. Akhirnya saya mengajak ibu beristirahat sejenak sambil mengamati orang yang lalu lalang berkegiatan di taman. Tentu saja bisa ditebak siapa yang paling banyak berkomentar. Salah satu enaknya traveling di negara orang yang sama sekali tidak mengenal bahasanya adalah kita bisa “ngrasani” siapa saja sepuasnya :). Asal kejadian di Macau tidak terulang lagi saat orang yang saya “rasani” ternyata mengerti bahasa Jawa (kapok deh). Karena perginya sama ibu saya jadi punya partner dalam bergosip soalnya kalau bergosip sama pak bendahara rasanya garing. Sama seperti bergosip dengan tembok karena dia selalu bilang “jangan gosip”. Hal yang selalu dia teriakkan setiap kali dia merasa saya dan ibu terlalu lebay dalam bergosip :). Dia selalu bilang, “Hati-hati kalau ngomongin orang. Walaupun tidak tahu bahasanya dari bahasa tubuh aja udah ketahuan banget kalau kalian sedang bergosip”. Jadi yang menjadi tantangan disini adalah bagaimana ngrasani tapi dengan wajah yang lempeng dan lugu :).
Jardin Botaniques Geneve
Keluar dari taman Parc Des Bastions, kami berjalan menuju pemberhentian tram terdekat yaitu Place de Neuve. Masih banyak waktu sebelum gelap, akhirnya kami sepakat memanfaatkan semaksimal mungkin Geneve Transport Card dengan naik bis apa saja dan melihat sampai dimana ujungnya. Dari pemberhentian tram Place de Neuve kami naik tram no. 18 jurusan Meyrin, CERN dan turun di halte Cornavin. Kenapa turun di Cornavin? karena dari titik ini banyak bis dan tram-tram yang lewat menuju ke segala penjuru kota. Saat menunggu di halte Cornavin seringkali lewat bis No. 1 yang berakhir di Jardin Botanique. Walaupun tidak paham bahasanya, saya dapat meraba kalau Jardin Botanique itu pastilah kebun raya.
Belum puas mengunjungi dua taman hari ini, saya mengajak mengunjungi Jardin Botaniques yang akhirnya disetujui karena tidak banyak pilihan yang kami punya. Sambil menunggu bis no. 1 lewat kembali iseng-iseng saya mengamati seorang lelaki yang tampak sedang asyik mengoceh sendiri. Sungguh mengherankan karena di tengah halte yang penuh dengan orang berdiri menunggu bis, tempat duduk di sebelah orang ini terlihat kosong. Tidak ada yang orang yang berani menduduki. Saya amati sambil bertanya tanya kenapa tidak ada yang berani duduk disitu secara kaki saya juga pegal kepingin duduk karena tempat duduk yang tersisa saya berikan kepada ibu. Merasa diamati, dia menoleh kepada saya dan mempersilahkan saya duduk disebelahnya dengan menggunakan bahasa Inggris (satu hal yang menakjubkan karena sangat jarang orang Eropa mau dan bisa berbahasa Inggris). Ketika bergerak mendekat, saya jadi ragu karena terlihat jelas kalau dia sedang mabuk. Dari baju, bau, cara bicara dan tampangnya kelihatan banget kalau dia sedang mabuk. Akhirnya saya putuskan untuk tetap berdiri saja dan tidak jadi duduk. Sadar kalau saya tidak mau duduk di sebelahnya, akhirnya dia berteriak dengan keras mengatai-ngatai saya, “You are Fuc*%##@ing rasis”. Duh rasanya maluuu banget, saya yang seringkali ngrasani betapa rasisnya orang Eropa kali ini kena batunya. Dikatai rasis sama orang Eropa :). Sambil ngomel dalam bahasa Jawa plus diketawai sama pak bendahara akhirnya saya bersembunyi di belakang ibu. Dengan harapan orang itu akan takut dengan ibu mertua saya (kalau kepepet tetap aja sembunyi di ketiak emak) :). Untung saja bis no. 1 nya segera datang dan berebutlah saya naik ke atasnya.
Sebenarnya kalau dilihat di peta, letak kebun raya ini dekat sekali dengan Ariana Park tempat gedung PBB yang saya kunjungi tadi pagi berada. Jadi agak kacau juga rute hari ini karena Jardin Botanique ini sebenarnya tidak masuk sama sekali dalam daftar itinerary. Berjalan beberapa meter masuk ke dalam taman, kita langsung disuguhi bangunan Winter Garden yang merupakan bangunan tertua di kebun ini. Seperti juga kebun raya yang lain, kebun ini juga memiliki tema-tema tertentu dalam penataan tamannya. Salah satu diantaranya adalah The garden of smell and touch, yang khusus ditanami tumbuhan yang berbau wangi. Tujuan utamanya melatih anak-anak atau orang buta untuk mengenali berbagai jenis tumbuhan melalui bau mereka.
Kemudian ada juga bagian yang bernama The terraces medicinal and useful plants, yang mengkhususkan diri pada 500 jenis tanaman pangan, obat-obatan dan industri. Sayangnya kami tidak bisa mengekplore taman ini terlalu jauh karena hari sudah sangat sore dan ibu sudah terlihat sangat lelah walaupun sudah banyak duduk dan istirahat. Akhirnya saya dan suami sepakat untuk kembali ke hotel. Rute transportasi dari Jardin Botanique ke hostel dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Sebelum pulang ke hostel, kami menyempatkan berbelanja di Lindl Supermarket yang berjarak hanya beberapa meter dari hostel. Saat mengaduk ngaduk bagian frozen food untuk mencari fillet ikan beku saya menemukan Nasi Goreng beku. Kontan mata saya langsung membelalak membayangkan makan nasi goreng sedap malam ini. Walaupun harganya lumayan mahal saya memohon mohon pada pak bendahara supaya mau membeli nasi goreng beku ini. Ibu yang juga kepingin makan nasi goreng mendukung usaha saya. Jadilah sesampai di hotel kami berdua berkutat di dapur hostel mencoba memasak nasi goreng ini.
Saya yang semangat banget ingin segera makan nasi goreng pelan pelan membaca petunjuk memasaknya. Saya teliti satu persatu dengan pelan dan akhirnya menyadari bahwa tidak satupun dari petunjuk memasak itu yang ditulis dalam bahasa Inggris. Arrgghhh. Ada lima bahasa tertulis disana tapi tidak satupun yang saya mengerti. Petunjuknya ditulis dalam bahasa Perancis, Jerman, Belanda, Arab dan Cina. Yah, mereka menulis dalam bahasa Cina dan Arab tapi tidak terbersit sedikitpun untuk menulisnya dalam bahasa Inggris. Akhirnya saya dan ibu mengira ngira sendiri cara memasaknya. Berdasarkan ilmu ngawur jadilah nasi goreng itu dan rasanya blehhhh sama sekali tidak enak. Serasa makan nasi goreng kering yang lama dijemur :). Sayang membuang nasi goreng itu, akhirnya kami makan pelan-pelan sambil berkali kali didorong pakai air minum. Tidak pernah dalam hidup saya acara makan jadi begitu menyiksa 🙂 dan masih menjadi misteri bagaimana cara memasak yang benar sehingga rasanya akan seperti nasi goreng sungguhan.
Herry Tan
November 7, 2016 at 1:38 pm
Akhirnya kelar juga ya hr ke 12…hahahaha….
Baca gk sampai stgh jam tp nunggu berbulan bulan…..:p
As always, detail n keren penulisan mbak.
Semoga postingan berikutnya gk sampai 2017 ya mbak…
Vicky Kurniawan
November 7, 2016 at 7:04 pm
Ha ha ha..waduh nyindir nih pak dokter. Oke siap pak. Saya usahakan selesai bulan ini dah Eropanya. Soalnya saya juga udah mblenger nulisnya 🙂 .
lulu arsyad
November 8, 2016 at 4:43 pm
Salam kenal mbak Vicky. Saya senang sekali baca blog nya, terutama seri 19 hari keliling Eropa, yang berakhir di halaman ini:). Blognya mbak, bisa jadi referensi saya untuk tahun depan ya. Bisa saya minta saran itinerary selama 11 hari? Saya sudah ada tiket Jkt-London-Jkt utk bulan maret-april 2017. Saya minta alamat emailnya mbak, bisa?
Vicky Kurniawan
November 9, 2016 at 2:07 am
Oktavi23@yahoo.com
Herry Tan
November 8, 2016 at 10:17 am
Wahhh selesai dlm bulan ini??’masi tujuh hr lo mbak :p
Ditunggu ya tulisan selanjutnya….:-)
Gk aabar ni pengen bacaa
Eko
November 9, 2016 at 12:53 pm
Salam kenal mbak Vicky. Senang baca tulisan perjalanannya dan berharap msh ada sambungannya sampai hari ke-15. Krn ini bs saya jadikan inspirasi utk liburan bersama keluarga pd pertengahan desember thn ini ke benua biru tsb.
Vicky Kurniawan
November 9, 2016 at 6:43 pm
Terima kasih sudah mampir kesini mas Eko. Semoga saya bisa menyelesaikan seri Eropa ini sebelum mas Eko pergi ya 🙂
Mahadesi
November 10, 2016 at 5:36 pm
Hai Mbak Vicky..
lamanya blog ini diupdate..sya smpe pengen colek mbak di fb biar update kalan2 ke eropanya..
ayo mbak semangatt..selesein tulisannya sya setia menanti..kl bc cerita mba sy serasa ikut dlm pertualangannya..makanya sya bca blog ini pelan2 bahkan diulang2 hehe…
Vicky Kurniawan
November 12, 2016 at 10:25 pm
Ha ha haaduhhh maaf banget ya mbak Desi. Saya sibuk banget bulan-bulan akhir ini. Tapi kalau baca surat dari mbak Desi jadi semangat lagi nih. Terima kasih atas dorongan semangatnya ya. Gambatte…
susanto lim
November 11, 2016 at 6:46 pm
Salam kenal mbak Vicky. Sangat informatif Dan detail information ya. Mau Tanya eurail pass continuous pass 15 hari nih. Seandainya saya memulai passnya tgl 1 Dan ditanggal 15 jam 21 saya Naik kereta yang diperkirakan tiba tinggal 16 jam 8 pagi. Apakah bisa menghindar pass saya berakhir tgl 15. Trims atas jawabannya mbak.
Vicky Kurniawan
November 12, 2016 at 10:37 pm
Passnya masih bisa dipakai. Kalau dimulai tanggal 1 maka akan berakhir tanggal 15 jam 12 malam.
Khajjar RV
October 18, 2018 at 3:56 am
Seneng banget baca blog ini. Ngingatin saya sama Geneva. Dan kok sama banget yaa mbak, saya juga nginap di city hostel waktu itu, hehe.
Vicky Kurniawan
January 17, 2019 at 7:28 pm
Terima kasih sudah mampir kesini mbak Khajjar