RSS

Hari Ke 4 : Amsterdam (Zaanse Schans, Keukenhoff & Red Light District)

09 Dec

Oleh  Vicky Kurniawan

Apa yang paling ingin kamu lihat bila pergi ke Belanda ? kalau saya tentu saja ingin melihat kincir angin dan bunga tulipnya. Walaupun bunga tulip Belanda aslinya berasal dari Turki, tapi hanya negara inilah yang dikenal sebagai produsen tulip terbesar di dunia. Tidak heran kalau Belanda selalu mengindetikkan dirinya dengan bunga tulip. Jadilah hari ini, kami mengunjungi dua tempat yang menjadi trade mark Belanda yaitu kincir angin dan bunga tulip. Untuk melihat kincir angin, ada beberapa tempat yang disarankan yaitu di Kinderdijk, Zaanse Schans dan Schiedam. Yah, dengan ribuan kincir angin di seluruh Belanda tidak menutup kemungkinan diluar tempat-tempat itu kita dapat menjumpainya baik masih digunakan ataupun tidak.

Salah satu Sudut Keukenhoff

Ibu di Salah satu Sudut Keukenhoff

Untuk melihat bunga tulip, tentu saja tempat yang paling direkomendasikan adalah Keukenhoff. Walaupun sebenarnya banyak tempat-tempat lain di Belanda yang juga menyajikan keindahan tulip. Bila punya waktu lebih, beberapa website bahkan menyarankan untuk tidak mengunjungi Keukenhoff. Mereka menyarankan untuk menjelajahi ladang tulip di seputaran Lisse, Hillegom Noordwijkerhout dan De Zilk. Selain lebih alami alasan lain adalah untuk menghemat biaya tiket masuk Keukenhoff yang harganya cukup lumayan. Tapi sayangnya, bunga tulip tidak mekar dalam waktu yang sama persis setiap tahun karena semua tergantung pada suhu. Pada umumnya mereka baru mekar pertengahan Maret dan mencapai puncaknya pada pertengahan April sebelum akhirnya luruh pada akhir Mei. Jadi hanya 3 bulan dalam waktu sepanjang tahun. Diluar waktu itu, bila ingin melihat tulip datang saja ke Bloemenmarkt atau Albert Cuypmarkt yang buka sepanjang tahun 🙂 .

Zaanse Schans

Zaanse Schans pada dasarnya adalah sebuah museum dengan konsep indoor dan outdoor. Tapi jangan dibayangkan tempat ini seperti sebuah museum yang membosankan sebaliknya di dalamnya akan dijumpai pemandangan indah khas Belanda yang membuat kita betah mengunjunginya. Zaanse Schans ini saya pilih karena letaknya yang dekat dengan Amsterdam sedangkan dua tempat yang lain seperti Kinderdijk dan Schiedam lebih dekat ke Rotterdam. Dengan jarak kurang lebih 20 km dari Amsterdam, tempat ini bisa dikunjungi dengan bis atau kereta. Bila naik bis, dari Amsterdam Central Station platform E bisa naik Connexxion bus no. 391 yang akan turun tepat di halte depan Zaanse Schans. Bila punya Eurail Pass seperti kami bisa naik kereta ke stasiun Koog-Zaandijk dilanjutkan jalan kaki kurang lebih 1 km ke Zaanse Schans. Transportasi dari Hostel Meeting Point ke Zaanse Schans dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

untitled3

Saat merencanakan rute ini sebenarnya saya ragu karena masih harus jalan sekitar 1 km untuk sampai ke tujuan. Sempat terpikir untuk naik bis tapi sayang dengan tiket Eurail Passnya. Saya khawatir dengan kondisi ibu, takutnya tidak kuat jalan. Tapi Alhamdulillah setelah turun di stasiun Koog – Zaandijk ternyata cuaca sangat bersahabat, sejuk dan tidak panas. Selain itu karena ini adalah kota kecil, lalu lintas sangat sepi dengan jalur pejalan kaki yang luas dan teduh sehinggan enak untuk jalan. Nampaknya pagi itu hanya kita bertiga yang keluyuran di jalan, serasa menjelajah kota mati saja. Terbiasa dengan kondisi kota-kota di Indonesia yang padat, saat menjelajah kota-kota atau desa-desa kecil di Eropa seringkali saya heran melihat suasananya yang sepi. Tidak ada orang yang keluyuran di jalan,ngobrol dengan tetangga, menyiram bunga atau anak-anak main sepeda. Saya tidak tahu apakah mereka bekerja atau sedang beraktivitas di dalam rumah pokoknya jalanan kebanyakan sepi sehingga mau ngobrol dengan suara keras pun jadi sungkan karena terdengar ribut sekali.

Jalanan yang sepi di Koog Zandijk

Jalanan yang sepi di Koog Zandijk

Saat kita tiba di Zaanse Schans jam 08.45 suasana masih sepi karena kebanyakan museum dan toko-toko didalamnya buka mulai jam 10 walaupun ada juga beberapa yang mulai buka dari jam 08.30. Tiket masuknya gratis baru bayar bila ingin masuk ke kincir angin atau museum tertentu. Begitu masuk ke area ini saya dibuat terkesan dengan rumah-rumah kuno di dalamnya. Kawasan ini memang dibuat untuk menggambarkan suasana Zaan Region pada abad ke 18 dan 19 ketika masa kejayaan industri sedang berlangsung. Pada masa puncak, sekitar 600 kincir angin di daerah itu akan aktif memproduksi segala macam bahan-bahan keperluan industri seperti kayu, cat, kertas. Seiring dengan pesatnya perkembangan industri, kemakmuran di kawasan itu juga meningkat. Ditandai dengan pembangunan rumah-rumah kayu berteras dengan kebun kecil disebelahnya. Sejak tahun 1961 sekitar 35 rumah kayu kuno dari seluruh daerah Zaanstreek dipindahkan ke Zaanse Schans supaya pengunjung mendapatkan gambaran kuat bagaimana keadaan daerah ini pada masa itu. Beberapa rumah kayu itu ada yang memang benar-benar dihuni tapi ada juga yang dijadikan museum sehingga bisa dikunjungi.

Rumah-rumah kuno di Zaanse Schans

Rumah-rumah kuno di Zaanse Schans

Selain rumah kuno, ada 4 kincir angin yang juga dipindahkan dan dibangun ulang disini. Kita dapat masuk dan melihat proses produksi dalam kincir-kincir angin ini dengan membayar E 4 perkincir. Kalau memang niat ingin berkunjung ke salah satu kincir dan museum-museum disini bisa membeli Zaansche Schans Card seharga E 11.5. Dengan kartu ini kita bebas bekunjung ke  Zaans Museum/Verkade Pavilion, the Coopery dan memilih satu dari 3 industrial windmills. Saya sendiri tidak membeli kartu ini, hanya jalan-jalan dan masuk ke beberapa museum dan kincir angin yang gratis.

Bberapa kincir angin di Zaanse Schans

Beberapa kincir angin di Zaanse Schans

Beberapa museum dan tempat kerajinan gratis yang bisa dikunjungi antara lain : Pewter Foundry de Tinkoepel, tempat ini mengkhususkan diri pada pembuatan barang-barang dari logam. Hebatnya semua proses digunakan dengan menggunakan tangan dan tidak melibatkan mesin. Sayang saat saya kesana tempat ini belum buka karena jam operasinya dimulai jam 11. Kalau bisa masuk kita akan disuguhi demo gratis cara pembuatan kerajinan logam ini. Tapi walaupun tidak bisa masuk, kita masih dapat mengagumi bangunannya yang cantik dengan tea house kecil tepat berada di pinggir sungai Zaan.

Pewter Foundry

Pewter Foundry de Tinkoepel

Museum kedua yang bisa dikunjungi dengan gratis adalah Albert Heijn Museum Shop. Albert Heijn adalah jaringan supermarket terbesar dan tertua di Belanda. Yang kita lihat disini adalah contoh toko bahan pangan Albert Heijn pada abad ke 18. Sayang, saat saya kesana museumnya tutup jadi hanya bisa intip-intip lewat jendela. Di dalamnya kita bisa melihat timbangan kuno dilengkapi dengan peralatan-peralatan toko kuno. Kalau melihat toko ini jadi ingat grocery storenya Nellie Olesson di film Little House on the Prairie.

Albert Heijn Museum Shop (Photo by : http://www.dezaanseschans.nl)

Albert Heijn Museum Shop (Photo by : http://www.dezaanseschans.nl)

Nah kalau ingin sedikit tahu cara kerja kincir angin tanpa membayar, bisa masuk ke kincir angin De Huisman yang sekaligus juga merangkap sebagai Museum Shop. Di pojokan toko ini terlihat tiga batu besar mengelinding menggilas biji-bijian. Batu-batu ini digerakkan oleh kincir angin yang digerakkan oleh mesin. Lumayan juga paling tidak kita mendapatkan gambaran kasar bagaimana cara kerja kincir angin.

Kincir Angin De Huisman

Kincir Angin De Huisman

Tempat keempat yang tanpa sengaja saya kunjungi adalah Bakery Museum. Tempat ini saya temukan secara kebetulan karena dituntun bau harum roti yang baru keluar dari panggangan. Sebenarnya museum yang merangkap toko roti ini belum buka tapi melihat saya intip-intip ke dalam melalui jendela, pelayan toko yang ramah mempersilahkan saya masuk untuk melihat-lihat. Didalamnya terdapat peralatan membuat roti dan kue jaman dulu seperti oven dan mixer kuno. Kebanyakan roti-roti yang dijual disini adalah roti dan permen tradisional Belanda seperti duivekater sejenis roti manis yang sangat populer di daerah ini dan hanya dihidangkan saat natal dan paskah.

Bagian depan dan dalam Bakery Museum

Bagian depan dan dalam Bakery Museum

Cheese Farm Catharina Hoeve juga menjadi salah satu tempat gratis yang bisa dikunjungi. Sesuai dengan namanya tempat yang buka dari jam 08.30 ini mengkhususkan diri pada keju. Disini kita bisa belajar mengenali berbagai jenis keju. Bukan itu saja, pada jam-jam tertentu ada demo langkah-langkah pembuatan keju dan yang paling enak di akhir demo akan dibagikan keju gratis untuk diicipi. Nah disini saya baru tahu kalau keju itu ada umurnya, semakin tua semakin asin dan makin kuat rasa kejunya. Jenis keju yang paling terkenal di Belanda adalah Gouda Cheese dengan 50% produksi nasional dikhususkan pada jenis ini. Selain itu keju yang dihasilkan pada musim semi harganya bisa sangat mahal karena dianggap paling enak, paling segar dan paling lembut dibanding winter cheese. Satu lagi yang saya pelajari adalah cara makannya yang bisa dicelup dengan berbagai macam saus. Tiap saus menghasilkan rasa tersendiri yang sangat lezat di lidah. Duh, kalau nggak ingat bagasi jadi pingin memborong semua keju-keju itu.

Bagian depan dalam Catherine Hof

Bagian depan dalam Cheese Farm Catharina Hoeve

Tempat terakhir yang saya kunjungi adalah Wooden Shoe Workshop, disini juga terdapat demonstrasi cara pembuatan klompen yang kalau dibuat dengan mesin terlihat mudah dan cepat (dengan catatan dikerjakan oleh ahlinya 🙂 ). Saat demo mereka masih menggunakan mesin manual dengan teknik yang sama seperti ratusan tahun yang lalu. Aslinya bila dikerjakan dengan tangan, satu klompen memerlukan waktu paling sedikit 2 jam. Selain cara pembuatan disini kita juga bisa berkunjung ke Clog Museum (Museum Klompen). Museum ini gratis dan menyimpan koleksi lengkap berbagai macam klompen dari berbagai belahan dunia yang dipakai pada berbagai kesempatan. Nah disini saya juga baru tahu kalau klompen kayu itu ternyata bukan hanya ada di Belanda saja. Menariknya tiap daerah di Belanda memiliki tukang pembuat klompen sendiri dengan ciri khas yang berbeda. Jadi sekali melihat klompennya mereka tahu darimana klompen itu berasal. Di museum ini terdapat berbagai jenis klompen, ada klompen yang bisa dipakai main ski, klompen khusus untuk pengantin, klompen bersepatu roda bahkan ada klompen yang bertahtakan berlian. Menarik juga mengamati sejarah klompen karena kita jadi tahu tentang gaya hidup dan kebudayaan orang-orang yang memakainya. Disini kita belajar bahwa sebuah klompenpun punya banyak cerita dari orang-orang yang memakainya.

Wooden Shoe Workshop

Wooden Shoe Workshop

Sebelum meninggalkan tempat ini kita istirahat sejenak sambil makan waffle dan beli es krim. Yah, tidak ada yang lebih menyegarkan pikiran dari melamun melihat jajaran kincir dan rumah-rumah tradisional di kejauhan sambil makan es krim yang segar dan waffle yang hangat. Sungguh aktivitas yang tepat untuk menutup kunjungan kesini. Peta lengkap Zaanse Schans bisa dilihat disini .

Penjual Es Krim dan Syrup Waffle di Zaanse Schans

Penjual Es Krim dan Syrup Waffle di Zaanse Schans

Mungkin hari terbaik mengunjungi kincir angin adalah saat National Mill Day yang jatuh pada hari Sabtu dan Minggu kedua bulan Mei. Saat itu 950 kincir angin di seluruh negeri membuka pintunya dengan gratis bagi pengunjung yang ingin tahu cara kerjanya. Tiap kincir angin akan didekorasi seindah-indahnya dengan bunga dan bendera nasional.

Keukenhoff

Dari Zaanse Schans, kami melanjutkan perjalanan ke taman bunga terbesar di dunia, Keukenhoff. Untuk itu kami harus kembali ke Amsterdam Centraal dilanjutkan naik kereta ke Schiphol dan naik bis ke Keukenhoff. Rute kereta dan bis dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

keukenhoff2-vert

Loket dan pemberhentian bis menuju Keukenhoff dapat dijumpai setelah keluar dari Schiphol Plaza. Petunjuk arahnya tertera dengan jelas, mengarah pada loket yang berada dalam sebuah mobil. Bisnya juga mudah dikenali karena banyak gambar tulip di badannya. Pada tahun 2014 biaya combiticket untuk orang dewasa sebesar E 23 sudah termasuk tiket bis pp (Keukenhoff – Schiphol) dan tiket masuk taman.

Mini van penjual tiket (atas) dan bis 858 ke Keukenhoff (bawah)

Mini van penjual tiket (atas) dan bis 858 ke Keukenhoff (bawah)

Perjalanan dari Zaanse Schans menuju Keukenhoff memakan waktu kurang lebih 2 jam. Begitu masuk ke dalam Keukenhoff, telinga kami langsung dimanjakan dengan suara musik yang mengalun dari Barrel Organ. Setelah mencari sumber suara, saya jadi terkesima dengan organ ini. Rangkanya terbuat dari kayu dengan bagian depan berbentuk panggung yang dihiasi dengan ukiran dan 4 patung kayu wanita sedang memegang genta. Bagian belakang terbuka sehingga kita dapat melihat dengan jelas cara kerjanya. Barrel Organ bernama The Adriaen ini menggunakan perforated book system untuk memainkan musiknya. Jadi “kasetnya” berupa karton tebal yang dilubangi untuk menunjukkan bagian perkusi dan drum. Bila ditumpuk, karton-karton ini membentuk sebuah buku yang tebal tipisnya tergantung panjang lagu. Selain memainkan musik klasik dan musik tradisional, organ ini juga bisa memainkan musik modern dengan lagu-lagu yang sedang ngehits. Pada tahun 2014, sudah 26 tahun organ ini mewarnai Keukenhoff dengan musiknya.

The Adriaen Barrel Organ

The Adriaen Barrel Organ dan tumpukan buku buku sebagai “kasetnya”

Dengan kebun seluas 32 hektar, Keukenhoff memang sangat luas untuk dijelajahi. Jadi untuk mendapatkan sedikit gambaran tentang taman ini, kami memutuskan untuk mengikuti Free Guide Tour yang diadakan setiap hari jam 14.00. Tempat berkumpul dan startnya dimulai dari Juliana Pavillion yang letaknya dekat dengan gerbang utama. Dalam tour ini kita akan diajak berkeliling sambil belajar tentang sejarah Keukenhoff dan bangunan-bangunan didalamnya serta beberapa teknis penanaman tulip dan tumbuh-tumbuhan. Secara keseluruhan tournya cukup memuaskan. Sangat informatif, santai, menyeluruh dan memberi kesempatan kepada peserta untuk mengambil foto bunga-bunga yang cantik itu. Guidenya adalah para sukarelawan dari asosiasi taman setempat.

Free Guided Tour di Keukenhoff

Free Guided Tour di Keukenhoff

Satu hal yang saya kagumi setelah mengikuti tur ini adalah kerja keras para ahli taman di belakang keindahan Keukenhoff. Seperti diketahui, Keukenhoff buka hanya 8 minggu setiap tahunnya. Pada akhir masa buka, semua tulip yang tersisa akan dicabuti dan dihancurkan. Kebanyakan dari limbah tulip tersebut akan digunakan sebagai pakan ternak. Setelah selesai mencabuti, mereka mulai menggemburkan dan menyuburkan tanah agar siap untuk ditanami kembali. Selanjutnya pada musim gugur para pegawai taman di Keukenhoff akan mulai menanam secara manual 7 milyar kuntum bunga yang disumbangkan secara gratis oleh 100 produsen tulip dari seluruh penjuru Belanda. Memang tujuan utama dari taman ini sebenarnya untuk pameran para produsen Tulip tersebut. Masa penanaman kembali memakan waktu 3 bulan dan 5 bulan berikutnya dipergunakan untuk memelihara dan mempertahankan kuntum-kuntum bunga tersebut dari musim dingin sehingga bisa mekar serentak pada masa pembukaan.

Berbagai sudut Keukenhoff

Berbagai sudut Keukenhoff

Tiap tahun tema dan desain taman yang diusung akan berganti sehingga pengunjung akan memiliki pemandangan yang berbeda dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2014 temanya adalah Holland yang diwakili oleh mosaik 60.000 bunga tulip berukuran 23 x 13 meter menggambarkan jajaran Kanal House dengan tulip raksasa disampingnya. Tema ini mengingatkan pengunjung pada periode Tulip Mania yang terjadi di Belanda pada abad ke 16 dimana harga satu batang tulip setara dengan harga satu rumah kanal house.

The 2014 Keukenhof Flower Mosaic shows (Photo By : hollands.com)

The 2014 Keukenhof Flower Mosaic shows (Photo By : hollands.com)

Selain tulip, Keukenhof juga memiliki koleksi bunga dan tanaman-tanaman lain yang tertuang dalam taman-taman bertema. Salah satunya adalah Japanese garden, yang berisi tanaman-tanaman khas Jepang seperti Japanese Maple (Momiji), bunga Peony dan pohon cemara. Taman itu juga dihiasi lentera, batu, jembatan dan kolam-kolam sehingga berasa seperti di Jepang daripada di Belanda. Selain Japanese Garden masih ada 5 taman bertema ditambah 7 inspiration garden yang berbeda tiap tahunnya. Dari ke 6 taman bertema tersebut menurut saya yang paling menarik adalah Historic Garden. Di taman ini kita belajar sejarah tulip karena disitu ditanam berbagai jenis contoh tulip dari yang paling kuno sampai modern. Menariknya ada juga sedikit bocoran varietas tulip yang akan dipertunjukkan tahun depan. Selain itu ada reproduksi taman Carolus Clusius, seorang dokter sekaligus botanis yang meletakkan dasar-dasar penciptaan jenis dan warna-warna yang berbeda pada tulip. Bisa dibilang dialah yang berjasa menjadikan Belanda menjadi negara pencipta varietas tulip terbesar di dunia. Dengan teorinya yang bernama Tulip Breaking dia sukses menciptakan berbagai jenis tulip dengan menggunakan virus.

Historic Garden dan Japanese Garden

Historic Garden dan Japanese Garden daam Keukenhoff

Usai mengikuti tur, kami melanjutkan jalan-jalan sambil mencari pojok-pojok sepi yang bisa digunakan untuk sholat. Selesai sholat kami berjalan ke Food Court untuk mencari makanan murah dan halal. Sebelumnya saya sudah baca di beberapa ulasan kalau harga makanan di dalam Keukenhoff mahal-mahal dan disarankan untuk membawa makanan dari luar saja. Tapi saya pikir tidak ada salahnya untuk mencoba siapa tahu ada satu kios makanan murah yang nyemil disitu. Ternyata benar juga, jangankan yang halal yang murah aja hampir nggak ada 🙂 . Yah, akhirnya perut dipaksa lagi makan bekal yang dibawa dari rumah. Sebetulnya waktu beli tiket sempat terpikir juga untuk pergi di bulan April sekalian menyaksikan Bulbflower Parade semacam pawai kendaraan hias yang didominasi oleh Tulip. Sayangnya bulan April harga tiket sedang mahal-mahalnya karena pembukaan musim semi sehingga baru dapat tiket murah di bulan Mei. Informasi mengenai Bulbflower Parade bisa dilihat disini sedangkan website resmi Keukenhoff bisa dilihat disini . Di website-website tersebut kita bisa mengecek waktu pembukaan Keukenhoff dan penyelenggraan Bulbflower Parade. Tapi saya akui bulan April memang waktu terbaik untuk mengunjungi Keukenhoff karena saat saya kesana di bulan Mei sudah banyak tulip yang berakhir masa bunganya. Bahkan ada beberapa tempat yang kosong karena bunganya sudah dicabuti semua.

Foto-foto Bulbflower Parade (Source : https://www.bloemencorso-bollenstreek.nl/en)

Foto-foto Bulbflower Parade (Source : https://www.bloemencorso-bollenstreek.nl/en)

Tanpa terasa 4 jam kami habiskan di taman ini. Sebelum pulang menyempatkan diri berfoto bersama seorang gadis berpakaian tradisional Belanda yang bertugas sebagai penyambut (Greeter) sekaligus membagikan brosur tentang Keukenhoff. Sambil menunggu bis, kami mampir sebentar di toko souvenir dekat gerbang Keukenhoff. Niat awal hanya untuk lihat-lihat saja karena harganya kurang cocok di kantong 🙂 . Tapi akhirnya beli juga satu kantong kecil keju yang berisi berbagai jenis keju batangan  yang menurut saya cocok untuk dimakan sendiri atau dijadikan oleh-oleh.

Berbagai jenis souvenir di Keukenhoff

Berbagai jenis souvenir di Keukenhoff (kanan)

Dari Keukenhoff kami memutuskan kembali ke hostel karena ibu sudah terlihat lelah. Rencananya setelah istirahat sebentar, kami akan jalan-jalan saja di seputaran hostel. Kebetulan Youth Hostel Meeting Point yang kami tempati dekat dengan area Red Light District dan Damraak. Jadi dari Keukenhoff kami naik bis 858 lagi untuk kembali ke Airport Schiphol, dilanjutkan naik kereta Sprinter atau Inter City menuju Amsterdam Centraal.

Red Light District

Setelah istirahat di hotel, kami makan di sebuah restoran kebab “I Love Kebab” yang jaraknya kurang lebih 50 meter dari hotel. Kalau makan disini sudah tidak perlu diragukan lagi karena ada tulisan HALAL besar di pintu masuknya. Menunya tidak melulu pada kebab saja, mereka juga menyediakan falafel, hamburger, pizza, waffle, crepes dan salad. Harganya bervariasi pada kisaran E 3.5 – 15 untuk makanan dan E 2.5 – 4.5 untuk minuman. Sebenarnya didekat situ juga ada restoran Indonesia Aneka Rasa, tapi harganya mahal berkisar antara E 10.5 – 21.

Restoran Halal "I Love Kebab" dekat hostel

Restoran Halal “I Love Kebab” dekat hostel

Sambil makan kami berdiskusi soal destinasi selanjutnya. Terus terang suami saya kurang suka kalau mengunjungi Red Light District. Dia pikir buat apa kita mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Tapi saya ngotot kepengen tahu, maklum seumur umur belum pernah saya pergi ke tempat pelacuran. Akhirnya, kami sepakat berpisah jalan. Saya dan ibu tetap seperti rencana semula melihat-lihat kawasan Red Light sedangkan suami lebih memilih jalan-jalan sendiri di seputaran Damraak. Sambil bergurau saya sindir dia, “halah nanti paling dari Damraak langsung muter ke Red Light”, dia hanya tersenyum. Kalau dilihat dari foto-fotonya memang benar dia ke Damraak dan pulang lebih cepat dari kita, karena sampai di hotel saya menjumpai dia sudah ngorok duluan 🙂 . Berikut rute walking tour seputaran Red Light yang saya modifikasi dari Lonely Planet :

Sejak tahun 1810 prostitusi sudah dilegalkan di Belanda. Hal ini tidak mengherankan karena 78% penduduknya menyatakan tidak bermasalah dengan adanya prostitusi walaupun bila dilihat dari data statistik hanya 5% pekerja di Red Light District merupakan warga asli kelahiran Belanda. Walaupun prostitusi sudah diijinkan sejak jaman baheula, baru pada tahun 2000 – lah rumah bordil dilegalkan. Dengan melegalkan prostitusi pemerintah berusaha memiliki kontrol yang lebih kuat terhadap industri ini sehingga berbagai pelanggaran seperti PSK anak-anak dan PSK yang dipaksakan dapat dihindarkan. Selain itu pemerintah juga berusaha meningkatkan akses bagi para PSK tersebut untuk mendapatkan layanan kesehatan dan sosial.

Belle Statue di depan Oude Kerk ang bertuliskan "Respect sex workers all over the world." (Photo By : footstepsontheglobe.com)

Belle Statue di depan Oude Kerk yang bertuliskan “Respect sex workers all over the world.” (Photo By : footstepsontheglobe.com)

Sebenarnya Amsterdam memiliki beberapa kawasan prostitusi berjendela tapi yang paling terkenal adalah “De Wallen” atau dalam bahasa Inggris disebut Red Light District yang sudah menjadi kawasan prostitusi sejak abad ke 14 atau sekitar 600 tahun yang lalu. Dengan luas kurang lebih setengah hektar, 300 jendela dan kurang lebih 600 PSK, De Wallen menjadi kawasan prostitusi terbesar dan tertua di Amsterdam. Nah sebelum berkunjung ke kawasan ini ada beberapa aturan yang harus kita ketahui : Aturan pertama yang paling penting adalah jangan memotret jendela yang sedang terisi. Sebenarnya kita diijinkan untuk memotret suasananya seperti jalan, jembatan, sungai karena sebenarnya area ini berada di kawasan yang cantik dengan kanal-kanal house tua di kanan kirinya. Yang tidak diperbolehkan disini adalah memotret PSK – nya. Kebetulan waktu itu ada yang nekat memotret, wah langsung sama mbak-nya disiram pakai Coca Cola sambil dimaki maki sampai heboh banget suasananya. Dari hasil “nguping” para guide tour yang lalu lalang membawa rombongan, disiram Coca Cola itu hukuman ringan ada beberapa yang bahkan disiram air seember besar atau ammoniak. Tindakan memotret ini memang kurang disukai karena kebanyakan PSK disana memiliki pekerjaan normal di pagi hari dan banyak tetangga, teman atau bahkan keluarga yang tidak tahu kalau mereka bekerja disana.

Suasana Red Light District di waktu malam dan siang (Photo by : wikipedia.org)

Suasana Red Light District di waktu malam dan siang (Photo by : wikipedia.org)

Aturan kedua, jangan memandangi mereka dengan seksama kecuali berminat untuk bertransaksi. Aturan ketiga, hati-hati dengan copet. Pada malam hari kawasan ini memang penuh dengan orang. Selain para pengunjung yang memang bertujuan untuk bersenang-senang, banyak juga rombongan turis yang datang baik dalam bentuk kelompok besar ataupun kecil. Belum lagi para penjual ganja yang berkeliaran sambil berbisik-bisik menawarkan dagangannya. Aturan ke keempat, kalau bisa pergilah dengan berkelompok paling tidak dua orang agar tidak menarik terlalu banyak perhatian. Nah karena saya perginya hanya berdua dengan ibu, saya berusaha membaur. Kalau pas ada rombongan turis lewat langsung saja menyelusup di belakangnya seolah-olah kami satu rombongan. Tidak pernah menyusuri gang-gang yang sepi dan selalu berada di keramaian itu yang saya pegang terus saat mengeksplor kawasan ini. Sebenarnya geli juga karena bila diamati, ibu saya jadi satu-satunya perempuan tua dan berjilbab yang keliling di kawasan prostitusi kentara banget kalau kita hanya berkunjung untuk melihat-lihat 🙂 .

Salah satu sudut Red Light District (Photo By : thatdamguide.com)

Salah satu sudut Red Light District (Photo By : thatdamguide.com)

Tempat pertama yang saya kunjungi disini adalah toko penjual kondom “Condomerie Het Gulden Vlies”. Kami berdua tidak masuk hanya melihat-lihat di etalase luar saja karena tokonya sendiri sudah tutup. Itupun sudah heboh banget karena toko ini menjual berbagai jenis kondom dengan berbagai bentuk di luar imajinasi dari yang lucu sampai konyol. Kalau melihat tokonya orang pasti tidak mengira kalau pendirinya ternyata dua orang cewek yang sangat peduli pada AIDS. Mereka boleh dikatakan berinvestasi besar pada pengembangan produk ini sehingga menghasilkan berbagai macam produk seperti kondom anti alergi, kondom untuk wanita dan kondom yang terbuat dari bahan ramah lingkungan.

Berbagai bentuk kondom di Condomerie

Berbagai bentuk kondom di Condomerie

Dari Condomerie, kami berjalan menyusuri Trompettersteeg, sebuah gang kecil dengan jendela merah di kiri kanannya. Dengan lebar gang kurang lebih 1 meter, saya sama sekali tidak berani menengok ada apa di balik jendela karena kentara banget kalau hanya melihat-lihat saja. Tapi sepintas memang terlihat banyak cewek seksinya, serasa lewat di gang toko mainan dengan kotak-kotak Barbie di kanan kiri. Mengikuti gang kecil ini sampailah kami pada tempat yang mungkin jarang ada di kawasan lokalisasi yaitu Oude Kerk, gereja tertua di Amsterdam. Secara moral memang terlihat kontradiktif karena letaknya yang hanya selemparan batu dari kawasan prostitusi. Gereja dengan bangunan bergaya gothik ini dibangun diatas kuburan sehingga di lantainya banyak terdapat batu-batu makam. Beberapa warga terkemuka Amsterdam juga dikuburkan disini. Seakan menambah kontradiksi didepannya terdapat patung Belle dan disebelah kirinya ada Nursery School. Mungkin hanya disinilah kita bisa menjumpai gereja dan sekolah TK berada jadi satu di kawasan lokalisasi.

Oude Kerk

Oude Kerk

Dekat dengan Oude Kerk ada satu tempat yang harusnya ada disetiap kawasan lokalisasi yaitu Prostitution Information Centre (PIC). Sayangnya saat saya kesana tempat ini sudah tutup sehingga hanya bisa melihat-lihat dari luarnya saja. Didirikan oleh seorang mantan PSK, tempat ini memberikan informasi dan edukasi bagi pengunjung tentang prostitusi. Mereka juga mengorganisir walking tour selama 1 jam di seputaran RLD dan menerangkan secara detail cara kerjanya. Untuk mengobati rasa penasaran pengunjung tentang kamar merah di RLD, mereka membangun replika kamar tempat para PSK itu bekerja sehingga pengunjung memiliki gambaran bagaimana suasananya. Sayangnya, tempat ini berjalan tanpa ada dukungan dana dari pemerintah. Jadi untuk mendanai kegiatannya mereka bekerja sama dengan toko souvenir De Wallenwinkel atau the Red Light District Store yang berada persis di sebelahnya.

Prostitution Information Centre RLD Amsterdam

Prostitution Information Centre RLD Amsterdam

Dari PIC ini kami berjalan menyusuri kanal-kanal di daerah Oudezidjs Voorburgwal dan Oudezidjs Achterburgwal. Di kiri kanan kanal-kanal tersebut terdapat kamar-kamar dengan satu pintu kaca yang kebanyakan berlampu merah. Didalamnya para PSK berbaju dan bergaya seksi untuk menarik perhatian pengunjung. Bila berminat, pengunjung bisa mengetuk pintu kaca dan bertransaksi secara langsung. Kalau harganya cocok tinggal masuk kamar dan tirai jendelanya ditutup. Meskipun kamarnya sempit tapi harga sewa yang dibayarkan oleh para PSK itu sangat mahal. Harga sewa kamar berkisar antara E 75-150 per 8 jam tergantung pada lokasi. Dari hasil curi dengar orang-orang yang sedang menawar, tarif PSK disitu berkisar E 50 per 15-20 menit. Benar-benar uang gampang.

Replika kamar di RLD (kiri) dan bagaimana rasanya dipandangi oleh pengunjung (kanan) Photo by : http://rachelheller.org

Replika kamar di RLD (kiri) dan bagaimana rasanya dipandangi oleh pengunjung (kanan) Photo by : http://rachelheller.org

Walaupun sebagian besar lampu-lampu di kamar-kamar tersebut berwarna merah, ada juga beberapa yang berwarna biru. Lampu biru menandakan bahwa PSK nya bukan wanita normal tapi transgender dan mereka beroperasi di area tersendiri. Memang di kawasn ini seolah-olah ada peraturan tidak tertulis mengenai pembagian area berdasarkan etnis. Bila suka wanita Spanyol ada area di sekitar Old Church yang bernama “Spanish Corner”, ada juga area yang mengkhususkan pada wanita Asia atau Afrika. Tapi yang jelas semua wanitanya cantik-cantik dan seksi bak supermodel majalah Playboy. Nah untuk menjamin keamanan para gadis itu, di setiap kamar disediakan “Panic Button”. Bila ditekan, lampu di luar kamar akan menyala dan dalam waktu 15-20 detik polisi akan datang. Selain itu kamera CCTV banyak dipasang di luar area ditambah lagi polisi yang lalu lalang berpatroli baik berjalan kaki, menggunakan sepeda ataupun kuda.

Polisi berpatroli di Red Light District (Photo by : amsterdamredlightdistricttour.com)

Polisi berpatroli di Red Light District (Photo by : amsterdamredlightdistricttour.com)

Akhirnya walking tour kami berakhir di Cannabis College yang sayangnya juga tutup. Tempat ini semacam pusat informasi gratis tentang seluk beluk ganja dan bagaimana menggunakannya secara aman. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya sudah ribuan tahun manusia menggunakan ganja baik sebagai pengobatan, relaksasi ataupun industrial (batangnya bisa diolah menjadi serat fiber sebagai bahan dasar jaring atau kain). Dari beberapa website yang saya baca di dalam Cannabis College ini juga terdapat taman ganja selain itu mereka juga bisa merekomendasikan beberapa nama Coffe Shop yang dilegalkan untuk menjual ganja.

Cannabis College

Cannabis College

Setelah melihat sisi Amsterdam yang ini, terus terang hanya ada rasa iba di dalam hati saya. Dalam lubuk hati terdalam, saya yakin tidak seorang wanita pun yang ingin atau bercita-cita untuk bekerja di tempat seperti ini. Apalagi mengingat resikonya yang besar karena dekat dengan dunia kriminal. Seberapa kuatpun pemerintah berusaha melindungi mereka, tetap saja itu merupakan pekerjaan yang berbahaya. Saya berdoa semoga anak cucu saya tidak pernah sampai harus memilih pekerjaan seperti ini. Mungkin di masa depan wajah Red Light District ini akan banyak berubah, karena sejak tahun 2008 pemerintah Belanda menerapkan Project 1012 (1012 adalah kode pos RLD). Proyek ini berusaha meminimalkan angka kejahatan di kawasan prostitusi dengan cara menyeimbangkan kondisi antara tempat prostitusi dan tempat non prostitusi. Coffeshops, rumah bordil, bar atau cafe yang berkualitas rendah dan dinilai rawan kejahatan ditutup. Selanjutnya tempat-tempat tersebut dirombak menjadi upmarket restoran, hotel dan perkantoran. Sebagai akibatnya sudah seperempat jendela dan cannabis shop yang ditutup dan tampaknya itu akan berlanjut terus sampai jumlahnya berkurang menjadi setengahnya. Yah, semoga semua usaha tersebut tidak sia-sia. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam ketika kami berdua sampai di hotel. Hari yang panjang dan melelahkan dan saya patut mengacungkan jempol pada ibu yang tidak keberatan saya seret kesana kemari, melihat kincir, tulip bahkan kawasan prostitusi 🙂 .

Kronologi Waktu Hari Ke 4

hari ke 4

 

 

 

 

 

 

Biaya Hari Ke 4 (Per Orang)

Biaya

 
18 Comments

Posted by on December 9, 2015 in Amsterdam, Belanda, Lisse, Zaanse Schans

 

Tags: , , ,

18 responses to “Hari Ke 4 : Amsterdam (Zaanse Schans, Keukenhoff & Red Light District)

  1. Anis Hidayah

    December 14, 2015 at 3:44 pm

    Pokoknya kalau kesitu mau ke kincir anginnya saja kak,,, sama bunga tulipnya saja,, hehehe. Nggak mampir ke De Wallen.

     
    • Vicky Kurniawan

      December 16, 2015 at 1:34 pm

      Ha ha ha anak baik..betul itu jaga mata jaga hati yah…

       
      • Anis Hidayah

        January 10, 2016 at 4:41 pm

        Alkhamdulillah di bilang anak baik,,,, tapi kalau ke pepet sekali – kali juga gak apa – apa dink, hahahaha

         
  2. Ellen Rahmawati

    December 30, 2015 at 11:26 am

    seneng deh baca blog mba vicky, semuanya detail dan lengkap. 2 jempol deh buat mba.
    semoga bisa mengunjungi eropa juga amiinnn..

     
    • Vicky Kurniawan

      December 30, 2015 at 1:59 pm

      Saya yakin pasti bisa mbak Ellen

       
  3. winnymarlina

    January 8, 2016 at 11:24 am

    blog kak vikcy asli selalu bikin mupeng

     
    • Vicky Kurniawan

      January 9, 2016 at 1:02 am

      He he he ayo dong Winny nabung ke Eropa sebelum umur 26, biar bisa lebih irit dari punya saya.

       
      • winnymarlina

        January 10, 2016 at 12:06 am

        ya elah kak udah lewat umur segitu ahhaha ketahuan tuanya

         
  4. cafe

    January 12, 2016 at 11:47 pm

    taman tulipnya bagus banget

     
  5. shareen

    February 10, 2016 at 7:15 am

    Mba Vicky, saya ada rencana mau ke Belanda & Swiss bulan Maret. Tapi paspor masih ‘perawan’ alias belum pengalaman keluar negeri sama sekali. Kalau dari Amsterdam ke Swiss melalui negara apa saja ya ? Dan naik transportasi apa saja ? Saya backpacker sendirian.
    Kalo tidak keberatan, apa boleh saya email ke mba Vicky ? Emailnya apa ya ? #banyaktanya

     
    • Vicky Kurniawan

      February 10, 2016 at 7:22 pm

      Halo mbak Shareen..
      1. Menurut pendapat saya pergunakan dulu paspornya untuk pergi ke negara-negara terdekat supaya mbak mendapat “feel” gimana rasanya pergi sendiri ke luar negeri. Sekalian mbak bisa belajar dasar-dasar cara naik kereta api, bis dll. Tapi ini lain cerita kalau di Belanda atau Swiss mbak sudah punya saudara atau teman yang bersedia menjadi guide kemana-mana.
      2. Dari Amsterdam ke Swiss kalau arah timur akan melewati Jerman, tapi kalau memutar dari barat akan melewati Belgia, Perancis dan Luxembourg.
      3. Email saya di Oktavi23@yahoo.com

       
  6. Novita

    March 11, 2016 at 9:55 am

    Wahh lengkap banget 😍😍, mba mau nanya kl pake combi ticket denger2 jadwal di keukenhofnya dibatasi 3 jam saja padahal maunya lebih lama krn pasti seharian disana ☺

     
    • Vicky Kurniawan

      March 11, 2016 at 3:32 pm

      Iyakah?, saya pakai kombi ticket nggak ada tuh pembatasan jumlah jam.

       
  7. Erna

    June 3, 2016 at 12:59 pm

    Mbak Vicky. Katanya kebanyakan website memyarankan utk ke Lisse dibandingkanKeukenhof. Kalo gk slh, bukannya keukenhof itu ada di daerah Lisse? Mohon sarannya. Soalnya saya jg lg planning ke sana. Thanks ya.

     
    • Vicky Kurniawan

      June 5, 2016 at 7:49 pm

      Halo mbak erna..sudah saya jawab di Email ya..

       
  8. icha

    April 12, 2017 at 4:05 pm

    Kak, di hari ke-4, ke keukenhof dsb itu apa menggunakan eurail/ globalpass nya? kok saya gg lihat ada beli tiket transportasi kota nya..

     
    • Vicky Kurniawan

      May 15, 2017 at 4:33 pm

      Ke keukenhoff naik bis yang dibeli jadi satu paket sama tiket masuk tamannya. Terus lain-lainnya jalan kaki saja. Dari Schipol ke Amsterdam Centraal pakai Eurail Pass.

       

Leave a comment