RSS

LEBARAN DI BRUNEI DARUSSALAM

07 Sep

Oleh : Vicky Kurniawan

Berlebaran di negara orang? Gimana rasanya?. Buat saya pribadi, berlebaran bukan di negara sendiri rasanya menyedihkan. Sedih karena kangen rumah, keluarga dan terutama kangen masakan opor bebek nenek saya yang selalu menjadi menu andalan kalau kami sungkeman ke rumahnya. Tapi dibalik kesedihan jauh dari rumah selama lebaran, ada juga hal-hal menyenangkan yang membuat lebaran menjadi suatu hal yang istimewa untuk dikenang.

Pertama kalinya berlebaran jauh dari rumah saya alami ketika mengikuti pertukaran mahasiswa ke Brunei Darussalam. Waktu itu saya sudah menjadi mahasiswa amit-amit (bukan imut-imut lagi lho) yang ditukar untuk belajar di University Of Brunei Darussalam dari Universitas Gadjah Mada yang menjadi almamater kedua saya. Sebenarnya saya cukup beruntung karena dikirim ke negara yang mayoritas penduduknya juga muslim sehingga suasana lebaran masih sangat terasa walaupun tidak sama. Bayangkan kalau harus dikirim ke Eropa, mungkin mengharu birunya masih terasa sampai tujuh turunan he he he..

Asrama Mahasiswa di UBD

Seperti juga di Indonesia, ketika bulan Ramadhan tiba saya sudah bersiap-siap untuk menjalankan ibadah puasa. Tinggal di asrama mahasiswa dalam kampus yang berjarak hanya 1 menit jalan kaki ke kantin memang memudahkan saya untuk buka dan sahur. Pada saat berbuka memang enak, tapi pas sahurnya yang sedikit bermasalah. Komplek asrama yang luas dikelilingi oleh hutan-hutan kecil hanya dibatasi oleh pagar kawat berduri. Terkadang monyet-monyet juga sering masuk ke asrama kalau kami lupa menutup jendela. Nah, terbayang kan kalau harus jalan malam-malam ke kantin untuk sahur. Walaupun terang, tapi sepinya itu lho yang bikin merinding (he he he dasar penakut!). Jadi walhasil saya sering lari-lari kalau harus sahur sendirian atau pada saat makan malam sekalian membungkus makanan untuk sahur yang sering disebut “Tapau”. Kalau ada teman sahur biasanya saya panaskan di dapur asrama tapi kalau lagi sendirian saya bela-belain aja makan makanan dingin daripada harus ke dapur sepi yang juga bikin merinding. Memang sepertinya hanya saya yang maniak dan terobsesi untuk sahur (he he he takut nggak kuat, maklum dalam masa pertumbuhan).

Dapur di Asrama

Suasana di Kantin dan Mbak-mbak penjaga Ta'jil

Sepanjang bulan Ramadhan, penduduk Brunei hanya bekerja setengah hari saja sampai jam 1 siang untuk pegawai negri dan jam 2 untuk karyawan swasta. Menariknya, tidak ada orang yang makan sembarangan di tempat umum selama bulan Ramadhan karena warung dan restoran (terutama yang berada di tengah kota dan jalan besar ) tutup di siang hari dan baru buka sore hari menjelang saat berbuka. Mereka juga mengenakan denda bagi warga muslim yang ketahuan merokok atau makan dan minum di tempat umum selama bulan puasa. Walaupun demikian warga non muslim juga tidak pernah terlihat makan dan minum sembarangan. Mereka sangat menghormati benar bulan puasa.

Restoran Yang Hampir Tidak Ada Pengunjungnya

Di bulan Ramadhan, Raja Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah (ini hanya seperempat nama resminya lho) juga membagikan kurma Safawi  impor kepada seluruh rakyatnya di Brunei termasuk kami para mahasiswa yang tinggal di asrama. Untung juga ya bapak Sultan tidak punya rakyat sebanyak rakyat Indonesia.

Kurma Dari Sultan Brunei

Di saat Ramadhan ini seperti juga di Indonesia banyak diadakan “Warung Ramadhan”, warung dadakan yang hanya dibuka saat bulan puasa. Nah, kalau mau wisata kuliner mungkin inilah saat yang tepat karena berbagai jenis makanan khas Brunei banyak tersedia disini. Ada Ambuyat, makanan dari sagu khas Brunei yang juga dimakan oleh orang bugis, ada kueh Seri Muka yang kalau di Indonesia mirip kue lapis dan makanan-makanan pembuka lain yang bikin perut tambah keroncongan.

Makanan dan Minuman Yang Dijual di Warung Ramadhan

Malam harinya setelah “Sunkai” atau berbuka, sholat tarawih juga banyak diadakan di masjid-masjid. Biasanya saya bertarawih di masjid kampus yang terletak indah di tepi danau buatan. Tarawihnya hanya 8 rakaat ditutup dengan witir 3 rakaat tanpa ceramah. Jadi jam 8 sudah ha ha hi hi di asrama. Pertama kalinya sempat bengong juga, setelah sholat witir seperti biasa saya selonjoran nunggu ceramah eh yang lain kok sudah pada lipat melipat mukena dan pulang. Yah, buruan ikut kabur dah. Lagian kalau ceramah pakai bahasa Brunei mungkin saya juga nggak ngerti (he he he).

Masjid Kampus UBD

Setelah sebulan penuh puasa (dikurangi tujuh hari), tibalah saat yang dinanti-nantikan yaitu Lebaran. Eng ing eng, mulailah kisah sendu di malam hari. Menjelang libur lebaran, warga asrama yang kebanyakan anak Brunei sudah hengkang ke kampung halaman masing-masing sedangkan anak-anak non muslim kebanyakan berlibur ke Malaysia atau seputaran Brunei karena bertepatan dengan libur lebaran. Yah, mudik juga menjadi tradisi namanya “balik kampung”. Selain mudik, tradisi menyerbu mall dan pasar juga dilakukan di sini. Begitu juga kebiasaan menyulut petasan karena petasan tidak dilarang. Mereka seperti juga kita di Indonesia juga menunggu-nunggu penetapan tanggal 1 Syawal dari pemerintah.

Salah Satu Mall Bernuansa Lebaran Di Gadong

Suasana asrama yang sepi membuat saya memutuskan untuk jalan-jalan saja. Jadi pada saat malam takbiran yang biasanya saya isi dengan kumpul bersama keluarga saya habiskan bersama beberapa teman untuk jalan-jalan ke “Jerudong Park” yang waktu itu masih jaya-jayanya sebagai satu-satunya Theme Park di Brunei Darussalam.  Tapi suasana Theme Park yang sepi seperti kuburan (yah mana ada malam takbiran orang jalan-jalan ke theme park) dan cuaca yang tidak bersahabat membuat kami memutuskan untuk pulang saja, mana hujan juga turun mengguyur maka makin lengkaplah penderitaan. Ketika mendengar suara takbir berkumandang tanpa terasa air mata menetes membayangkan suasana rumah. Saat ini mungkin adik-adik dan kakak-kakak saya sudah berkumpul dan pastinya kedua orang tua saya pasti sedang kerepotan diserbu 4 anak yang terbiasa kost dan pulang ke rumah dengan misi perbaikan gizi. Waktu itu kami semua masih bujangan, nggak kebayang kalau sudah punya anak dan suami seperti saat ini. Pasti saya nangisnya sampai seember (he he he).

Sudut-Sudut Jerudong Park

Untung saja keesokan harinya saat lebaran tiba keadaan mulai membaik. Dengan ketiga teman lain kami patungan menyewa van untuk mengantar kami sholat di salah satu masjid paling terkenal di Brunei yaitu Masjid Jame’ Asr Hassanil Bolkiah di Kiarong. Masjid megah ini dibangun sebagai tanda 25 tahun kepemimpinan Sultan. Dikelilingi oleh taman yang indah, masjid berlantai 2 ini mampu menampung 5000 jamaah. Dari lantai 1 ke lantai 2 dihubungkan dengan escalator (busyet 2 lantai aja pakai escalator). Tempat wudhunya waktu itu sudah otomatis, kita tinggal duduk aja airnya lansung keluar. Waktu itu saya yang masih muda dan lugu, dengan begonya celingak celinguk mencari kran untuk wudhu (he he he).

Masjid Jame’ Asr Hassanil Bolkiah

Setelah selesai sholat sambil menunggu van datang, mulailah kami cuci mata melihat para jamaah lain yang mulai keluar dari masjid. Wuih, rasanya seger bener karena banyak warga berwajah timur tengah yang sholat di masjid ini. Rasanya bak melihat para bintang Bollywood tumplek blek disini dengan wajah India, Pakistan dan Arab yang semuanya rasanya cantik-cantik dan ganteng-ganteng. Orang Brunei sendiri yang laki-laki mengenakan baju Melayu lengkap dengan peci, sementara para wanita mengenakan baju kurung.

Sore harinya, Mr. Suhaimi, salah seorang teman sekelas berbaik hati mengirimkan mobil lengkap dengan sopirnya untuk mengangkut kami berlima dan teman-teman yang masih tersisa di asrama untuk berkunjung ke rumahnya. Ternyata makanan khas lebarannya juga hampir sama dengan Indonesia ada ketupat, dodol dan lemang dan tidak ketinggalan sirup (he he). Yang paling menyenangkan, ternyata dia juga menonton televisi Indonesia (pastinya pakai parabola). Wah, rasanya hampir seperti di rumah sendiri makan ketupat plus melihat RCTI. Setelah sekian lama melihat siaran RTB (stasiun televisi pemerintah Brunei) yang acaranya persis TVRI jaman saya TK dulu, melihat RCTI rasanya seperti tarzan turun ke kota (he he).

Hidangan Lebaran, Sama Kan?

Lebaran hari kedua, kami putuskan untuk mengunjungi Istana Nurul Iman yang selalu menggelar Open House tiga hari selama hari raya. Terletak di tepi Brunei River istana megah yang didesain oleh arsitek Philipina ini merupakan istana hunian terbesar di dunia (luasnya saja 200.000 m2). Bayangkan kamarnya saja ada 1788, garasi yang bisa menampung 110 mobil, 5 kolam renang dan kandang kuda yang bisa menampung 200 ekor kuda. Kandangnya ber AC lagi. Dalam kesehariannya Istana ini tertutup untuk umum dan hanya dibuka pada saat Idul Fitri. Jadi memang rugi banget kalau lebaran di Brunei tidak mampir kesana. Ada dua sesi open house, pagi hari jam 10 sampai jam 13 dan sore hari.

Bagian Luar Istana Nurul Iman

Menurut Sumber Tidak Resmi Bagian Dalamnya Seperti Ini

Untuk mengunjungi istana ini, kita diharuskan mengenakan pakaian resmi. Untuk wanita paling aman sih pakai baju kurung atau baju muslim dan kerudung. Yang laki-laki pakai baju batik persis seperti orang mau datang kondangan pun sudah cukup. Setelah turun di gerbang istana, kami antri naik bis yang memang disediakan khusus untuk mengangkut penumpang sampai ke istana. Selanjutnya setelah mendaftar dan melalui pemeriksaan keamanan, kami dijamu makan secara prasmanan dengan aneka makanan yang berlimpah (sampai teringat orang-orang Ethiopia). Setelah makan, mulailah kami berbaris antri menuju ruangan tempat sultan dan kerabat istana berada. Antrian terpisah antara laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki akan bersalaman dengan Sultan dan para pangeran dan yang perempuan akan bersalaman dengan istri sultan dan putri-putrinya.

Suasana Antrian

Selama mengantri kita akan diberi kesempatan melihat-lihat sebagian kecil interior dalam Istana Nurul Iman yang dirancang oleh Mr. Khuan Chew, yang salah satu karyanya adalah interior dalam Burj Al Arab di Dubai. Antriannya cukup panjang bisa sampai 1-2 jam (makanya kita diberi makan dulu biar tidak semaput) dan sepanjang jalan diberi kipas angin supaya pengunjung tidak kepanasan. Kebayang tuh berapa banyak kipas angin yang digunakan. Setelah antri sekian lama sambil membayangkan gimana rasanya salaman sama Ratu Brunei pas giliran tiba, yah, anti klimaks banget. Ternyata bukan salaman yang berjabat tangan erat tapi cuman nempel keempat ujung jari doang…ha ha ha..yah tapi saya juga tidak menyalahkan. Menurut data terakhir, untuk lebaran tahun 2011 ini pengunjung pada hari kedua saja sudah mencapai 60.000 orang. Jadi kerabat kesultanan Brunei mungkin adalah orang-orang yang paling ahli dalam tehnik bersalaman.

Setelah bersalaman, kita antri lagi baris keluar dan diujung antrian kita diberi  lunch box berwarna kuning dengan lambang kesultanan Brunei di tutupnya yang berisi kartu ucapan Idul Fitri dari Sultan disertai fotonya,  biskuit, coklat, permen dan minuman kotak. Untuk anak-anak selain kotak masih ditambah dengan angpao sebesar BND 5 atau setara dengan Rp. 35.000. Dari tahun ke tahun lunch boxnya tidak banyak berubah, tapi karena Istana memutuskan untuk “Go Green” sejak tahun 2008 lunch box plastiknya diganti dengan tas karton tebal dengan desain yang cukup menarik.

Lunch Box Dulu dan Sekarang

Dalam perjalanan pulang kami memutuskan untuk jalan kaki saja ke gerbang Istana, sambil melihat-lihat pemandangan dan membayangkan gimana rasanya tinggal di Istana sebesar ini. Tapi yang jelas, saya pasti tidak mau karena takut kesasar dan pasti pegel jalan saking luasnya tapi yeeeyy..siapa juga yang nawarin..he he he..

Pada hari ke 3, malamnya kami mendapat undangan untuk merayakan lebaran di KBRI. Kantor yang terletak di jalan Muara Serasa ini terletak sekitar 15 km dari kampus. Wah senangnya melihat saudara setanah air. Setelah sholat Isya’ bersama dan pidato-pidato dimulailah acara makan-makan dengan menu standar lebaran yaitu lontong dan opor ayam. Walaupun rasanya masih belum pas dengan masakan di Indonesia tapi cukuplah untuk melepas kangen dengan masakan rumah. Saya mengamati beberapa anak-anak Indonesia yang tinggal di Brunei ternyata berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Brunei. Anak-anak memang penyerap bahasa yang baik. Kalau saya sedang tidak di KBRI mungkin saya mengira mereka anak-anak Brunei asli karena gaya bicara dan logatnya yang persis Bruneian.

Suasana Sholat Ied Di KBRI Brunei

Begitulah sekelumit pengalaman saya berlebaran jauh dari rumah. Pada intinya, berlebaran di negara lain membuat saya lebih memahami betapa berartinya menghabiskan lebaran di rumah sendiri. Berkumpul dengan sanak keluarga dan orang-orang yang kita cintai jauh lebih menyenangkan dan menyentuh hati walaupun terkadang kita merayakannya hanya dengan  kesederhanaan.

Met Lebaran Ya...

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H dan mohon maaf bila ada tulisan di blog ini yang menyinggung perasaan.

 
Comments Off on LEBARAN DI BRUNEI DARUSSALAM

Posted by on September 7, 2011 in Brunei Darussalam

 

Tags: , , , , , , , , ,

Comments are closed.

 
%d bloggers like this: